.saat berada dipenghujung jaLan..
tak pernah aku tahu kemana takdirku daLam takdir-Nya,
usaha,Logika sperti tak bermakna..
entah..
harus disini kuLangkahkan kaki..
harus dari sini kurajut asaku kmbaLi..
harus di sini, ditempat penuh beLenggu ini,
ku dapati satu dari Maha mimpiku..
geLap pun indah..
saat bintang terLihat jauh Lbih terang dari mentari yg teLah pergi..
no matter whatever happen..
i beLieve,everyLife has a secret.
^_^
Setiap hal akan dimintai pertanggungjawaban. Dan pastikan setiap tulisan yang kau bagikan mampu memberi manfaat, tidak menjadi pemberat amal burukmu di akhirat kelak.
Hal penting saat orang tua bersama anak
Friday, 25 November 2011
Sunday, 12 June 2011
Sepenggal Kisah Yang Tak Kembali
Hujan…
Pagi ini, tak sepeti pagi-pagi yang lalu.pagi ini, Syaima, gadis desa yang telah tersulap menjadi seorang muslimah cantik bak bidadari ini,begitu bersemangat beranjak bangun disepetiga malamnya. Tampak matanya berbinar, tak sabar menyambut pagi yang akan menjelang setelah peraduan qiyamullail dan subuhnya hari ini. Tampak sekali. Sungguh, sedikitpun tak biasa gadis ini menyembunyikan perasaan dari raut wajah dan matanya. Seperti tengah berada di pasar malam yang dipenuhi permen arumanis kesukaannya. Selalu mengekspresikan apa saja yang ada dalam benaknya. Tidak pernah sekalipun berubah.Ba’da subuh , tepat pukul 05.00 am WNIP ( Wekdal Nuswantara Imbang Pracima ) atau yang biasa kita kenal dengan WIB ( Waktu Indonesia bagian Barat ) , Syaima tampak menyibukkan diri di kamar. Secarik kertas berada erat di genggamannya. Aku tak yakin itu sebuah surat. Tampaknya terlalu mengenaskan jika selembar kertas lusuh nan kumal nan eksotis ( kosakata baru, bahasa halus dari lecek ) itu ku sebut sebuah surat.
Perlahan namun pasti, semua orangpun akan mengira gadis ini mulai menampakkan ketidakwajarannya…
Syaima mulai tersenyum senyum sendiri…semakin mengamati benda eksotis itu…seperti teringat sesuatu…terbayang…kemudian airpun merembes dari kedua pelupuk matanya. Syaima menangis.
Selama beberapa detik. Ia mencoba mengendalikan diri. Senyumpun kembali terkembang dari bibir ranumnya. Ternyata…benar saja…benda tadi memang harus kita akui sebuah surat. Akupun tadinya tidak begitu mengerti. Surat apa, bagaimana, dari siapa dan mengapa hingga bias membuatnya begitu merelakan diri masuk kedalam isi tulisan itu.namun, setelah ku cari tahu dari sumber yang bisa sdikit dipercaya, akupun mengerti…sangat mengerti…
Untukmu
Di hatiku , Syaimaa’ zulfa
Semoga kau selalu berada dalam lindumgan-Nya.akupun begitu.
Terlampau banyak yang tak ku mengerti dari perasaan perasaan yang kian menyiksa nurani ini.
Terlampau sulit aku mengerti untuk sekedar mengartikan perasaan apakah yang bergemuruh menyuarakan kidung kidung perih bagi pemuda yang belum pernah sekalipun menjamah sesuatu yang dinamakan cinta itu…
Terlalu rumit.
Namun Fa…percayakah kau padaku, jika tak bisa sedetikpun aku tenang terngiang keputusanmu untuk meninggalkan ku???
Percayakah?
Sungguh Fa…aku begitu menghargai alasanmu.begitu mengerti dan sangat mengerti sebab apa yang membuatmu yakin dengan keputusan itu.
Namun…tidak halnya dengan hati ini.
Ku harap, hatimu akan selalu menjaga apa yang pernah kita jaga bersama.
Ku harap, suatu saat nanti , Tuhan akan mempertemukanku dan kau kembali dalam sebuah ikatan suci.
Ku tunggu kau.digubuk ini. Penjara suci, dimana kau dan aku bertemu untuk yang petama dan yang terakhir.
Semoga, waktu tiga tahun cukup bagimu dan aku menyempurnakan ilmu.
Pukul 06.00 am .
Masih saja hujan .
Namun sepertinya syaima tidak memperdulikan dentuman air deras yang mengalir tanpa ampun dari langit di atas sana. Ia bersihkeras untuk pergi ke suatu tempat . Syaima kembali terpaku pada benda eksotis tadi. Diingatnya kembali. Tertulis 11 oktober 2008.Hhh…sudah lama sekali ternyata. Pantas saja, terlihat begitu kumal kertas itu. Sebentar!!!hari ini.ya…hari ini,jum’at tepat tanggal 11 oktober 2011. Tunggu dulu. Di sana, di kertas itu , di surat itu , tertulis satu nama. Bukan nama. Lebih tepatnya, inisial.
Yang mengasihimu,
F.N.T
11 Oktober 2011…Tiga tahun mendatang…terhitung dari 11 Oktober 2008.
HARI INI.BENAR HARI INI.
Sesekali Syaima menengok jam dinding di ruang keluarga. Maklum saja…sudah sangat lama di kamarnya tidak terdengar detak kehidupan jam dinding. Jam tangan apalagi. Hanya handphone saja alternative jam terdekat. Namun setelah alarm tadi malam , sepertinya ia lupa dimana terakhir ia meletakkan handphone berstandar nasional yang masih dipertahankan hingga berabad-abad itu. Di bawah bantal sepertinya. Atau entah terhempas kebelahan dipan ( tempat tidur ) yang sebelah mana karena kebiasaan buruk Syaima menghempaskan apa saja yang menggedor-gedor pintu mimpinya untuk segera bangun. Rupanya, sifat bawaan dari eyang kakung dari sang ibu menurun ke tabiat putri sulung dari dua besaudara, syaimaa’ zulfa dan Zahra Kamilatunnuha ini.Perlu dicatat, pasangan suami istri ayah ibu dari syaima memang sangat terobsesi dengan nama-nama arab. Bukan hanya itu, walaupun mereka berasal dari keluarga pedesaan yang amat awam.namun , mereka sadar betul akan agama. Oleh karena itulah…sejak kecil kdua anak mereka,panggil saja Syaima dan Zahra sudah diperkenalkan dengan dunia keagamaan.ya…semisal dititipkan di TPA-TPA, begitu bahasa sederhananya.
Ia ragu.
Tiga tahun sudah. Ingin sekali ia datang kesana.Ada sesuatu yang menari-nari saat teringat kata-kata dalam surat itu. Ia teringat kembali .
Ku tunggu kau.digubuk ini. Penjara suci, dimana kau dan aku bertemu untuk yang petama dan yang terakhir.
Semoga, waktu tiga tahun cukup bagimu dan aku menyempurnakan ilmu.
“Ah…apakah perasaan seseorang yang di seberang sana masih sama seperti dulu.setelah tiga tahun berlalu.tepat hari ini… Menunggu kedatangan gadis yang telah melukainya…menunggu ku???” keluh Syaima dalam hati.
Menengadah. Menghela nafas. Kemudian beranjak pergi meninggalkan kamar yang semakin lama terasa semakin sesak itu. Menuju dapur.
Gemercik air sudah terdengar selepas subuh tadi. Lampu-lampu rumah pun telah dihidupkan setelah semalaman dininabobokan untuk menghasilkan kegelapan. Terdengar jelas ketika eyang uti dari ayah Syaima tergopoh-gopoh mengambil kayu. Sungguh bukan karena Ketidakpengertian keluarga Syaima, hingga eyang uti terjun turun tangan mengurusi dapur. Namun memang karena saking inginnya membantu Bu Iin, ibu Syaima mengepulkan asap setiap pagi buta.
Dan seperti biasa, sejak sebelum adzan subuh tadi, sedingin apapun udara menusuk tulang, sederas apapun hujan , ayah Syaima , Lik Kun , begitu aku biasa memanggilnya , selalu berada di shaf terdepan jama’ah masjid Baitun Nuur di kampung kami. Terkadang, beliau juga yang mengumandangakan adzan jika belum ada mu’adzin yang datang.
to be continue...
Pagi ini, tak sepeti pagi-pagi yang lalu.pagi ini, Syaima, gadis desa yang telah tersulap menjadi seorang muslimah cantik bak bidadari ini,begitu bersemangat beranjak bangun disepetiga malamnya. Tampak matanya berbinar, tak sabar menyambut pagi yang akan menjelang setelah peraduan qiyamullail dan subuhnya hari ini. Tampak sekali. Sungguh, sedikitpun tak biasa gadis ini menyembunyikan perasaan dari raut wajah dan matanya. Seperti tengah berada di pasar malam yang dipenuhi permen arumanis kesukaannya. Selalu mengekspresikan apa saja yang ada dalam benaknya. Tidak pernah sekalipun berubah.Ba’da subuh , tepat pukul 05.00 am WNIP ( Wekdal Nuswantara Imbang Pracima ) atau yang biasa kita kenal dengan WIB ( Waktu Indonesia bagian Barat ) , Syaima tampak menyibukkan diri di kamar. Secarik kertas berada erat di genggamannya. Aku tak yakin itu sebuah surat. Tampaknya terlalu mengenaskan jika selembar kertas lusuh nan kumal nan eksotis ( kosakata baru, bahasa halus dari lecek ) itu ku sebut sebuah surat.
Perlahan namun pasti, semua orangpun akan mengira gadis ini mulai menampakkan ketidakwajarannya…
Syaima mulai tersenyum senyum sendiri…semakin mengamati benda eksotis itu…seperti teringat sesuatu…terbayang…kemudian airpun merembes dari kedua pelupuk matanya. Syaima menangis.
Selama beberapa detik. Ia mencoba mengendalikan diri. Senyumpun kembali terkembang dari bibir ranumnya. Ternyata…benar saja…benda tadi memang harus kita akui sebuah surat. Akupun tadinya tidak begitu mengerti. Surat apa, bagaimana, dari siapa dan mengapa hingga bias membuatnya begitu merelakan diri masuk kedalam isi tulisan itu.namun, setelah ku cari tahu dari sumber yang bisa sdikit dipercaya, akupun mengerti…sangat mengerti…
Untukmu
Di hatiku , Syaimaa’ zulfa
Semoga kau selalu berada dalam lindumgan-Nya.akupun begitu.
Terlampau banyak yang tak ku mengerti dari perasaan perasaan yang kian menyiksa nurani ini.
Terlampau sulit aku mengerti untuk sekedar mengartikan perasaan apakah yang bergemuruh menyuarakan kidung kidung perih bagi pemuda yang belum pernah sekalipun menjamah sesuatu yang dinamakan cinta itu…
Terlalu rumit.
Namun Fa…percayakah kau padaku, jika tak bisa sedetikpun aku tenang terngiang keputusanmu untuk meninggalkan ku???
Percayakah?
Sungguh Fa…aku begitu menghargai alasanmu.begitu mengerti dan sangat mengerti sebab apa yang membuatmu yakin dengan keputusan itu.
Namun…tidak halnya dengan hati ini.
Ku harap, hatimu akan selalu menjaga apa yang pernah kita jaga bersama.
Ku harap, suatu saat nanti , Tuhan akan mempertemukanku dan kau kembali dalam sebuah ikatan suci.
Ku tunggu kau.digubuk ini. Penjara suci, dimana kau dan aku bertemu untuk yang petama dan yang terakhir.
Semoga, waktu tiga tahun cukup bagimu dan aku menyempurnakan ilmu.
Pukul 06.00 am .
Masih saja hujan .
Namun sepertinya syaima tidak memperdulikan dentuman air deras yang mengalir tanpa ampun dari langit di atas sana. Ia bersihkeras untuk pergi ke suatu tempat . Syaima kembali terpaku pada benda eksotis tadi. Diingatnya kembali. Tertulis 11 oktober 2008.Hhh…sudah lama sekali ternyata. Pantas saja, terlihat begitu kumal kertas itu. Sebentar!!!hari ini.ya…hari ini,jum’at tepat tanggal 11 oktober 2011. Tunggu dulu. Di sana, di kertas itu , di surat itu , tertulis satu nama. Bukan nama. Lebih tepatnya, inisial.
Yang mengasihimu,
F.N.T
11 Oktober 2011…Tiga tahun mendatang…terhitung dari 11 Oktober 2008.
HARI INI.BENAR HARI INI.
Sesekali Syaima menengok jam dinding di ruang keluarga. Maklum saja…sudah sangat lama di kamarnya tidak terdengar detak kehidupan jam dinding. Jam tangan apalagi. Hanya handphone saja alternative jam terdekat. Namun setelah alarm tadi malam , sepertinya ia lupa dimana terakhir ia meletakkan handphone berstandar nasional yang masih dipertahankan hingga berabad-abad itu. Di bawah bantal sepertinya. Atau entah terhempas kebelahan dipan ( tempat tidur ) yang sebelah mana karena kebiasaan buruk Syaima menghempaskan apa saja yang menggedor-gedor pintu mimpinya untuk segera bangun. Rupanya, sifat bawaan dari eyang kakung dari sang ibu menurun ke tabiat putri sulung dari dua besaudara, syaimaa’ zulfa dan Zahra Kamilatunnuha ini.Perlu dicatat, pasangan suami istri ayah ibu dari syaima memang sangat terobsesi dengan nama-nama arab. Bukan hanya itu, walaupun mereka berasal dari keluarga pedesaan yang amat awam.namun , mereka sadar betul akan agama. Oleh karena itulah…sejak kecil kdua anak mereka,panggil saja Syaima dan Zahra sudah diperkenalkan dengan dunia keagamaan.ya…semisal dititipkan di TPA-TPA, begitu bahasa sederhananya.
Ia ragu.
Tiga tahun sudah. Ingin sekali ia datang kesana.Ada sesuatu yang menari-nari saat teringat kata-kata dalam surat itu. Ia teringat kembali .
Ku tunggu kau.digubuk ini. Penjara suci, dimana kau dan aku bertemu untuk yang petama dan yang terakhir.
Semoga, waktu tiga tahun cukup bagimu dan aku menyempurnakan ilmu.
“Ah…apakah perasaan seseorang yang di seberang sana masih sama seperti dulu.setelah tiga tahun berlalu.tepat hari ini… Menunggu kedatangan gadis yang telah melukainya…menunggu ku???” keluh Syaima dalam hati.
Menengadah. Menghela nafas. Kemudian beranjak pergi meninggalkan kamar yang semakin lama terasa semakin sesak itu. Menuju dapur.
Gemercik air sudah terdengar selepas subuh tadi. Lampu-lampu rumah pun telah dihidupkan setelah semalaman dininabobokan untuk menghasilkan kegelapan. Terdengar jelas ketika eyang uti dari ayah Syaima tergopoh-gopoh mengambil kayu. Sungguh bukan karena Ketidakpengertian keluarga Syaima, hingga eyang uti terjun turun tangan mengurusi dapur. Namun memang karena saking inginnya membantu Bu Iin, ibu Syaima mengepulkan asap setiap pagi buta.
Dan seperti biasa, sejak sebelum adzan subuh tadi, sedingin apapun udara menusuk tulang, sederas apapun hujan , ayah Syaima , Lik Kun , begitu aku biasa memanggilnya , selalu berada di shaf terdepan jama’ah masjid Baitun Nuur di kampung kami. Terkadang, beliau juga yang mengumandangakan adzan jika belum ada mu’adzin yang datang.
to be continue...
Puisi Untuk Ibu
MY CANDLE
Never I think to make you sad
Never I’ll make you cry
More than it , I’ll make you smile
Always make you smile
Never like a wind
Never like a rain
Which sometimes come , sometimes run away
You are so different…
Your hug , your eye and your advice,
Never go away , never run away from my mind
Never leave my life…
You always be the sun,
Who never late come in the morning
Who shine everyone , everywhere and everytime
Anyone , anywhere and anywise…
You always shining me like a candle in the dark
You’re my everything who I have
Keep your shine for me ,
And trust me , I’ll never make your shine fall
Never… never make your shine fall
Mom…
Dedicated to my hero ,
Iin’s , my mom
With Love,
Desty Prasetya N
Never I think to make you sad
Never I’ll make you cry
More than it , I’ll make you smile
Always make you smile
Never like a wind
Never like a rain
Which sometimes come , sometimes run away
You are so different…
Your hug , your eye and your advice,
Never go away , never run away from my mind
Never leave my life…
You always be the sun,
Who never late come in the morning
Who shine everyone , everywhere and everytime
Anyone , anywhere and anywise…
You always shining me like a candle in the dark
You’re my everything who I have
Keep your shine for me ,
And trust me , I’ll never make your shine fall
Never… never make your shine fall
Mom…
Dedicated to my hero ,
Iin’s , my mom
With Love,
Desty Prasetya N
Saturday, 22 January 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)