Hal penting saat orang tua bersama anak

Wednesday, 26 September 2012

Bingkaiku untuk Ayah Bunda

Sebuah catatan keciL dari sahabat seperjuanganku, di pondok pesantren..

oleh Nieda Haromain pada 27 Januari 2012 pukul 13:15 •

Cinta, definisinya sangat kompleks dan sulit diartikan dalam satu persepsi saja. Namun jika kau hidup berlandaskannya, yakinlah bahwa ia akan membuat hidupmu bermakna, yakinlah bahwa dia hidup di setiap nadi kebahagiaan yang kau dan ia bangun dalam suatu mahligai. Sedang diriku, kurasa tak pernah kujumpai cinta melebihi apa yang Tuhan limpahkan kepadaku. Kedua orang tua yang begitu menyayangiku, seorang kakak yang selalu menjagaku, seorang nenek yang sangat menyayangiku dan mengurusku semenjak aku kecil. Rumah kuno yang terletak ditepi jalan raya itu menjadi saksi betapa bahagianya aku dalam asuhan nenek. Semua seolah kembali memenuhi kepalaku, membuatku menyerah untuk kembali bersedih. Keluarga kecil kami, terimakasih telah memberiku mereka untuk kusayangi Tuhan…. Dan begitupun mereka, orang-orang yang sangat menyayangiku.

Ibu, orang yang sangat kupuja dan kusayangi. Setiap hal dalam dirinya adalah ketangguhan yang tiada duanya. Ujian dalam hidupnya bagaikan nafas yang menjadi bagian dari dirinya. Jika ada wanita yang paling kucinta, Ibukulah orangnya. Beliau komplit, teladan, sahabat, guru dan segala hal yang kuperlukan....

Aku mencintaimu Ibu... :)



Tentang Bapak, aku tak biasa menemui beliau di hari-hari biasaku di rumah. Ia bekerja di luar kota, sejak beberapa tahun yang lalu. Tegal, nama kota yang detik ini hingga entah kapan aku selalu kubenci karena hal yang kini menimpaku, hal yang memang takdir, namun aku belum bisa berdamai dengannya.



Bapak, adalah sosok yang tak tergantikan, meski kami jarang bertemu, karena beliau bekerja di Tegal(kota namun pertemuan singkat saat ia pulang ke Kudus membuatku merasa menjadi putri dengan Bapak terbaik sedunia.



Mas riza, satu-satunya kakak yang kupunya. Dia menyayangiku, aku tahu itu karena aku juga sangat menyayanginya. Dia adalah kakak terhebat....

Terimakasih telah menciptakan mereka untukku Tuhan....

Terimakasih untuk keluarga indah ini, selamanya kami akan hidup bersama. Dengan kebahagiaan yang tak ada tandingannya. Itulah impianku,,,,



Namun angin berkehendak lain atas perintah Ilahnya. Ia tak akan berhambur ke barat saat Ilahnya memerintahkan ia berlari ke timur. Pun, ia tak akan pernah bisa berhembus ke selatan saat Ilahnya menakdirkannya ke utara. Hari itu entah mengapa aku risau, masa lalu yang sudah kulalui terbayang sudah. Kelabu rindu yang kutahan sudah membuncah tak terbendung. Pagi mendung nan suram menemani tangisku hari itu, Kamis, 07 April 2011. Ayahku tak lagi menemaniku, ia terlelap dengan tanda tanya besar yang ada di hatiku. Ia berdiam dengan sejuta penyesalan yang menyesaki dadaku.



„Ayah, aku mencintaimu,

Lalu apa yang bisa dilakukan cinta ini,

Jika kau tak lagi bisa menatap mata bundarku,

Apa arti sebuah kerinduan,

Jika itu tak cukup kuat menahanmu,

Ayah...

Jangan mati,,,

Jangan mati dengan cara seperti ini,



Bianglala memutar begitu cepat dan membuat aku, Ibu dan Bapak menjerit hiperbol. Bapak lebih kocak, ia sengaja menjerit-jerit padahal tak ada ketakutan sama sekali di raut wajahnya yang lucu.

„hahahhaha....Bapak kalo nggak pengin jerit nggak usah pura-pura jerit deh,” ucapku, menggodanya.

Malam itu malam terakhir tradisi dandangan di Kota Kudus, kotaku. Aku dengan mati-matian memaksa Ibu dan Bapak menemaniku di area bermain(baca;anak-anak). Dan mereka mau menemaniku. Kami berkeliling dengan arah yang tak pasti. Mencari-cari sesuatu yang entah apa itu. Yang pasti aku senang. Itu mutlak dan tak bisa ditawar-tawar. Entah Ibu dan Bapak senang atau tidak, itu urusan nomor dua. Karena aku memang egois!

***

Sedari tadi aku menggeliat, tidurku malam itu tak nyaman. Aku mendengar pintu kamar kakakku digedor-gedor, entah oleh siapa. Ibu mungkin. Ah, bodo amat! Aku kembali meneruskan tidurku.

Sejam kemudian, giliran pintu kamarku yang diketuk keras oleh seseorang, Ibu ternyata. Beliau mengucapkan kata-kata yang membunuh kantukku. Menerawangkan aku pada lembah hitam yang tak kunjung usai.

„Dek, bangun...Bapak sudah meninggal.”

Tuhan, keterlaluan sekali becandaan ini. Kenapa Ibu tega berkata seperti itu. Tuhan...jangan biarkan aku terlalu lama tidur dengan mimpi seperti ini. Tuhan.... Tuhan......

***

Hari ini penerimaan rapor, Bapak memang tak pernah mengambilkan raporku. Beliau sibuk bekerja di Tegal. Tak masalah bagiku, yang pasti aku tahu, Bapak sangat menyayangiku, sangat menyemangatiku, dia ada saat aku merasa tak ada. Ibulah yang merangkap sebagai Bapak, apalagi Ibu harus mengurusi Nenek yang sudah tak bisa berjalan. Hanya bisa terlentang di kasurnya.



Oh, Ibu...

Bagaimana mungkin aku tega mencampakan kasihmu, sedang hidupmu saja sudah sangat berat. Bagaimana aku rela menukar keangkuhanku dengan cinta yang semurni itu, aku mencintaimu ibu, aku mencintaimu di setiap tanda keberadaanku.



„Selamat ya sayang...jangan puas dengan prestasi yang kamu raih. Bapak sayang adek.”

Sms singkat dari Bapak sudah menggenapi kebahagianku. Bapak tak pernah lupa menyapa putri mungilnya ini. Semua prestasi dan jerih payahku adalah untuk kebanggaan mereka, Bapak dan Ibu.

***

Yogyakarta, 01 Agustus 2011



Semua sudah usai, aku tak sering lagi menangis, semua sudah berakhir, sedihku tercampur dengan waktu yang mulai melenyapkannya. Perantauan ini mengajarkan segalanya padaku. Aku tidak diijikannya untuk lemah.

‘’Aku merindukanmu Bapak, aku sangat menyayangimu...bagaimana aku ungkapkan itu jika kau tidak lagi bisa kutemui...” air mataku mulai membasahi pipiku, aku memikirkannya lagi. Aku akan terus memikirkannya hingga entah kapan,

Tuhan, aku merindukannya. Segala hal membuatku sedih saat mengingat pertemuan terakhirku dengan Alm.Bapak.



***

Aku panik dengan ucapan Ibu. Tak kuasa lagi menahan kesakitan yang menjelma di dadaku. Secepat kilat kubuka pintu kamar yang sudah ada ibu di depannya. Lalu aku berlari, dengan hati yang baru saja terobek-robek. Dengan air mata yang bertumpahan. Aku menuju kamar Bapak dan Ibu.

Dan ia terbaring di sana. Dengan wajah indahnya. Dia di sana dengan ketampanan luar biasa. Bapak, apa yang terjadi dengan waktu, kenapa aku tak sanggup berdamai dengannya.



Tuhan,,,,Tuhan,,,,

Aku mohon jangan bilang ini semua nyata..

Aku mohon, bangunkan aku dari ini

Ijinkan aku lari darinya

Aku takut

Aku tak mampu sendiri...



Bapak sudah terbaring tanpa nyawa di kasur itu. Tangannya terkulai di samping tubuhnya yang besar. Tubuh yang sudah terlalu lama kesakitan dengan penyakit yang menemaninya setengah tahun terakhir. Lalu aku mendekatinya, hanya mampu memanggil-manggil lemah.

„Bapak.... Astaghfirullah Bapak....”

Kuciumi wajahnya, kupijat-pijat tangan dan kakinya yang mulai mendingin. Aku tak kuasa menahan kehancuran yang perlahan bergema di nafasku. Aku sakit, aku sakit dengan ini semua. Aku sedih, takut, gelisah....



Lalu hari itu menjadi hari paling ramai di rumah mungil kami. Tak ada tangis di pagi itu. Hanya rintihan tertahan yang membuatku pusing. Pekerjaan yang kulakukan hanya bersandar di kaki yang teramat dingin. Kaki yang sudah tak bisa bergerak. Kaki yang selama ini berjalan di sekitarku. Aku terduduk di samping jenazah Bapak yang sudah di telentangkan di ruang tamu.

Tuhan, ijinkan aku mencintainya lebih dari ini, ijinkan aku memuliakannya lebih dari sekarang. Aku mencintainya Tuhan, aku sangat menyesal dengan cintaku yang hanya menguap tanpa tersampaikan.

„Yang sabar ya Nok,,” ucapan itu begitu menentramkan. Tak ada yang seperhatian Bu Nyai, dia bahkan mencium kedua pipiku. Dan raut wajahnya mengisyaratkan simpati yang mendalam.

Tapi itu tetap tidak cukup, itu tak akan pernah cukup membuatku tersadar. Aku akan terus tertidur dengan mimpi ini. Mimpi yang tak pernah kuinginkan.



Bapak, bagaiman ini,

Aku bahkan belum mengikuti UN,

belum menentukan jodohku,

belum sepenuhnya membanggakanmu,

Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku,

Ah,

Teganya kau,

:(



Saudara Bapak dari Magelang sudah berlimpah datang ke rumah. Jenazahnya pun sudah rapi di keranda yang tergeletak di dalam ruang tamu rumah kami.

Beberapa kerabat menangis, mengatakan apa saja kebaikan Alm.Bapak. mengatakan apa saja yang menghiburku serta ibu dan Mas.

„Nida, satu-satunya anak perempuan yang sangat dibanggakan almarhum.”

Air mata itu meluncur lagi. Tak kuasa pula aku menahan sesak di hati. Bapak, bukankah aku hanya bisa mengecewakanmu? Kenapa kau justru selalu membanggakanku, , Bukankah aku selalu menyakiti hatimu dengan semua tingkahku? Kenapa aku begitu bodoh untuk tidak menyadari ini semua lebih awal...

Kemudian,,,

Saat paling berat di hidupku, saat keranda itu mulai berjalan. Aku hampir limbung karena tak kuat menahan tubuhku sendiri. Kalimat tahlil menggema di rumah kami, ah, Tuhan.....sekerdil inikah hamba bisa bertahan dengan ujianMu....



Bapak,

Selamat jalan,,,

Selamat menjalani kehidupan baru di kerajaan langit.,,

Rinduku tak mampu mengikutimu,

Sayangku yang tumbuh dengan subur pun hanya mampu menembus langit pertama,

Bapak,

Kumohon,

Jangan benci aku karena aku mencintaimu

Jangan marahi aku atas sayangku padamu,

Adik janji,

Adik akan jaga Ibu,

Adik janji,

Adik nggak akan nakal lagi...

Tidurlah Bapak

Adik sayang Bapak...

:)



Tidakkah kau tahu,

seberapa besar rasa cintamu pada kedua orangtuamu?

Rabalah hatimu hingga kau yakin rasa cintamu adalah seluruh lautan, rasa sayangmu kepada beliau berdua adalah keindahan yang tak akan tergantikan.

Tidakkah kau dengar, lantunan, rintihan, dan keluh kesah mereka dalam sujud yang panjang?

Tak mengertikah kau bahwa mereka amat sangat memujamu,,,putra dan putri mereka.

Tak sadarkah kau, Ibu, Ibu, Ibu, adalah orang mulia yang sabar, menghadapimu yang tak mendengarkan tutur lembutnya, menahan kesakitanyya demi kebahagiaan dirimu.

Tak adakah rasa belas kasih untuk cinta yang semurni dan seagung itu?

Bapak, tak mengertikah kau....ia adalah orang yang dengan tubuh terbungkuk rela menahan kalian, menjaga kalian siang malam....

Mereka,,,,

Bapak, ....

Ibu,.....tak sadarkah kalian betapa indahnya mereka????

Dimana kalbu kalian, di mana nurani kalian,

Jemputlah mereka, papah mereka dengan kasih yang tak pernah mereka bayangkan. Layani mereka, sayangi mereka,,,

Tersenyumlah di hadapan mereka sesakit apa pun kalian saat itu...

Sebelum semuanya teramat terlambat,

Sebelum semuanya hanya angan yang tak akan terwujud...

Ciumlah mereka dengan cinta yang murni...

Mereka adalah hal terindah,

Bapak,,,

Ibu,,,



-Nieda Haromain-

Aku ingin Kau Mengerti

entah mengapa sakit yang begitu sakit ini terasa...
sesak...
namun hanya mampu terisak setiap kali mengingatnya.
sakit sekali
sayang atau cinta saja kurasa itu tidak cukup
dan ketidak nyamanan ini begitu mengganggu hidupku
aku ingin menyudahi perih ini
aku ingin menyudahi sakit yang teramat sakit ini
aku ingin pergi...
tidakkah ia mengerti hatiku?
tidakkah ia ingin tahu apa dan bagaimana aku yang semakin merasa terbelenggu atas cintaku sendiri?

mengertilah...
aku ingin sendiri...
biar kurasa pahit-pahitku
biar kurasa bahagia-bahagiaku tanpa keberadaanmu
jangan pernah kau tanyakan mengapa,
karna aku tak tahu