Hal yang perlu orang tua tahu, calon orang tua tahu, dan lingkungan anak-anak kita tahu. Mengapa ?karena butuh satu kampung untuk mendidik satu anak. Jadi sebaiknya, mari kita berbagi ilmu ini kepada siapapun yang berada di lingkungan kita. :’)
Saat Bersama Anak :
1. Hindari berkata “Jangan”, hal ini akan menumpulkan kreatifitas dan perkembangan otak mereka (menghambat pertumbuhan neuron pada otak). Biarkan anak bereksplorasi dengan lingkungannya. Beri ia kebebasan, namun dengan pengawasan. Penggunaan Kata negatif “Jangan” bisa diganti dengan menggunakan kata lain seperti “Sebaiknya” atau kata lain yang tidak bermakna negatif (larangan). Misalnya, “Kakak sebaiknya nggak perlu mainan pisau..”, “Silahkan lari-lari, namun sebaiknya hati-hati..” dls. Sebuah penelitian mengatakan bahwa seekor kutu loncat yang tadinya mampu melompat beratus kali tinggi badannya, berubah drastis menjadi hanya mampu berjalan hanya karena kutu loncat tersebut di masukkan kedalam kotak korek api selama beberapa minggu. Kesimpulannya, anak dengan pola asuh banyak larangan “jangan” (diibaratkan kutu loncat yang berusaha melompat namun tertahan kotak korek api), semakin lama akan menurun tingkat perkembangannya. Orang tua memiliki banyak pilihan kata maupun bahasa lain yang lebih baik, namun sering halnya kebingungan saat harus menghindari kata yang telah membudidaya di lingkungan kita. Namun karena kita telah mengetahui dampak besar yang dapat terjadi dari kata negatif tersebut, maka kita harus segera mengubah pola pikir, pola asuh kita terhadap anak anak kita.
2. Hindari menyalahkan batu, tembok, atau benda benda lain yang dianggap menjadi penyebab jatuhnya anak. Hal ini secara tidak langsung orang tua telah mengajarkan anak 3 hal pada anak. Yang pertama mengajarkan anak untuk berbohong, karena kesalahan tidak dilakukan oleh benda benda tersebut melainkan karena anak kurang berhati-hati. Kedua, mengajarkan anak untuk selalu menyalahkan orang lain. Ketiga, mengajarkan anak untuk memarahi orang lain. Ketiga hal ini tentunya akan memberikan dampak negatif yang begitu besar pada psikologis anak saat dewasa nanti. Seperti halnya yang telah kita tahu, banyak penipuan terjadi meraja lela, ribuan koruptor saling menyalahkan dan tidak ada seorangpun pelaku kejahatan maupun pelaku organisasi yang dengan sukarela menyatakan bahwa dirinya bersalah, yang salah siapa?orang lain. Lalu bagaimana kita menginginkan anak anak kita kelak?apakah seperti krisis moral seperti sekarang? Kita berhak memilih.
3. Hindari mengancam anak. Kata kata ancaman sangat variatif. Mulai dari yang lembut seperti lagu “nina bobok” (nina bobok, ooh nina bobok, KALAU TIDAK BOBOK, DIGIGIT NYAMUK) atau lagu wajib seperti “tak tinggal loh yaa”, “gak diajak jalan jalan lo ya kalau nakal”, hingga yang paling kasar seperti, mengepalakan tangan sebagai isyarat ancaman. Ya, kita terlihat paling berkuasa saat mereka masih anak anak. Dengan sigap mereka akan segera menuruti kemauan kita dengan jurus jitu “ancaman” ini. Namun bagaimana saat mereka beranjak dewasa?hal yang sama akan mereka lakukan pada kita. Tidak tanggung tanggung, karena mereka menjadi lebih pandai dari kita. “Pokoknya adik minta dibelikan HP, kalau nggak adik nggak mau makan”, atau yang sering terjadi di lingkungan saya “Kalau kakak nggak dibeliin motor ninja, kakak mau bolos sekolah” dll. Begitulah kemungkinan besar yang akan terjadi pada mereka saat besar nanti jika saat saat usia emas mereka kita hiasi dengan kata ribuan kata ancaman.
4. Hindari membandingkan anak (meskipun secara halus). Seperti “Itu Alya aja bisa...”, “Ashfa aja mau makan, kok kakak enggak sih..”, “Tuh Fafa aja mau gambar, masa adik nggak mau gambar..” dst. Mungkin maksud kita bukan membandingkan. Namun lebih ke keinginan kita untuk memberikan motivasi pada anak. Namun karena penggunaan kalimat yang kurang tepat, dapat mengakibatkan anak merasa dibanding bandingkan. Dan mereka tidak suka itu. Hal yang terjadi bukan malah ia termotivasi, melainkan ia akan bersih keras dengan apa yang dia inginkan (Ngeyel, makin tidak mau). Hal ini tentunya wajar, karena pada dasarnya setiap individu ingin dianggap keberadaannya. Jika ingin menggunakan teman untuk memotivasi, gunakan kalimat “Wah, Ashfa mau makan banyak tuh, pasti ini rasanya enak, yuk kita coba..”. Menggunakan kata dan kalimat yang sekiranya tidak menyinggung perasaan anak, tidak terkesan membandingkan.
5. Hindari Labeling negatif pada anak. Apakah itu labeling negatif? Labeling negatif adalah memberi label yang tidak baik pada anak. Misalnya, “Dasar anak nakal..”, “Dasar anak bodoh..” dst. Memilih kata yang baik untuk konsumsi anak anak kita adalah hal yang wajib dilakukan oleh orang tua. Karena apa yang kita katakan, akan mereka contoh. Apa yang kita (orang tua) ucapkan, akan menjadi sebuah do’a. Terlepas dari kedua hal itu, label negatif akan senantiasa memberikan sugesti negatif pada anak sehingga kata kata tersebut akan tertanam di pikiran dan hati mereka hingga hasilnya akan menjadi kebiasaan.
Sebuah penelitian menyatakan, bahkan hal yang sama pun terjadi pada benda mati. Dua buah toples A dan B yang diletakkan nasi didalamnya, diletakkan pada ruang yang berbeda. Toples A diberi label dengan tulisan “BAIK”. Sedangkan toples B diberi label dengan tulisan “BURUK”. Masing masing toples diberi perlakuan yang berbeda di masing masing ruangan. Setiap hari toples A di beri kata-kata positif, “kamu baik, bermanfaat, pintar..”dst. Sedangkan toples B diberi kata-kata negatif setiap harinya, “kamu bodoh, nakal, merugikan..”dst. Apa yang terjadi beberapa hari kemudian?Hal yang mencengangkan bagi saya. Nasi yang berada ditoples B membusuk. Dan hal yang sebaliknya terjadi pada toples A adalah, nasi menjadi tape.
6. Asah kemampuan bahasanya. Kadang, karena orang tua sudah paham dengan apa yang anak inginkan hanya dengan anak menangis, rewel, atau marah, orang tua lantas langsung memberikan apa yang anak inginkan tanpa berbasa-basi. Sebaiknya orang tua bertanya, mengapa anak menangis, menanyakan apa yang ia inginkan, mengapa ia menangis, mengapa ia marah, apa yang membuatnya marah. Pancing hingga anak mau mengutarakannya dengan bahasa yang jelas. Hal ini akan menjadi kebiasaan jika orang tua tidak pernah mengajak anak berbicara dari hati ke hati.
7. Buat kesepakatan dengan Anak. Meski mereka masih anak anak dan belum tentu memahami apa yang kita bicarakan, terus berusahalah untuk mengajak mereka berbicara seolah mereka mengerti. Ajaklah mereka berdiskusi serta bernegosiasi sebelum kita memulai kegiatan dengan anak. Misalnya, kesepakatan untuk sayang teman, bermain sampai tuntas, beres-beres dan merapikan setelah selesai bermain, minta izin kalau mau pegang kepala teman, tangan hanya untuk bermain dan menyayangi teman, kaki hanya untuk berjalan dan menendang bola.
8. Asah social skill anak dengan membiasakan anak untuk menyapa temannya, meminta maaf ketika salah, mengucapkan terimakasih, memahami dan mengikuti kesepakatan yang telah dibuat bersama.
9. Disiplin. Hal yang paling krusial namun kadang justru menjadi penghambat terlaksananya keseluruhan poin di atas. Orang tua sebaiknya disiplin dalam menanamkan nilai nilai moral atau kebiasaan yang dibina bersama anak dan lingkungan (Ayah, ibu, kakek, nenek dll). Ketidak konsistenan lingkungan akan menjadikan anak tidak menghargai kesepakatan/ kebiasaan yang sebelumnya telah dibuat. Misalnya, ketika orang tua menetapkan jadwal menonton televisi (hanya 2 jam perminggu saat liburan) atau peraturan menonton televisi (hanya boleh menonton film anak-anak), maka sebaiknya orang tua dan lingkungan si anak juga menjalankan peraturan tersebut dengan konsisten. Contoh lain seperti ketika orang tua menginginkan anaknya membuang sampah pada tempatnya. Maka ketika mengetahui anak tidak mau membuang sampah pada tempatnya, tidak lantas membiarkan atau memberi toleransi pada anak untuk membuang sampah sembarangan, namun bagaimana caranya membujuk anak agar tetap mau membuang sampah pada tempatnya.
10. Memberi Contoh. Sama halnya dengan kedisiplinan, memberi contoh adalah hal yang amat penting, hal yang paling mendasar dari keseluruhan poin di atas. Bagaimana anak kita, adalah cerminan dari kita, orang tuanya. Percayalah, kerja keras anda untuk mengubah pola hidup, serta pola pikir demi membentuk karakter anak anak untuk menjadi lebih baik akan anda panen saat mereka dewasa nanti. Karena anak anak usia 0-7 tahun adalah usia emas yang akan begitu cepat terlewati. Jangan sampai waktu yang sebentar tersebut kita lewati begitu saja tanpa sebuah perjuangan. Anak anak usia ini diibaratkan seperti pondasi, bagaimana dinding dan atapnya akan terbentuk, miring atau tidaknya sebuah rumah, bergantung pada miring/tidaknya pondasi, bergantung pada kokoh/tidaknya pondasi yang sebelumnya kita bangun. Anak anak usia ini juga diibaratkan seperti adonan semen yang masih basah. Apapun yang jatuh di atas adonan tersebut, ia akan membentuk di atas adonan itu.
*Baca juga, Pola Asuh Orang Tua
Wallaahu a’lam bishowab.
Parenting by Desty Prasetya.